Ritual Bakar Tongkang adalah Event yang menjadi andalan Kabupaten Rokan Hilir, Riau untuk menarik kunjungan wisatawan dari mancanegara.
Ritual ini bermula ketika pada tahun 1826, ada serombongan orang Tionghoa
merantau dari Provinsi Fu-Jian, China. Mereka berlayar menggunakan 3 kapal kayu
yang disebut tongkang. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam. Dalam
kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada
di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.
Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya
cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada
daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga
tibalah satu tongkang yang selamat di daratan di pinggiran Selat Malaka.
Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang
yang kesemuanya bermarga Ang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie
Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se
Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua,
Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.
Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa
Bagan Siapi-api. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagan siapi-api kini adalah
bermarga Ang atau Hong.
Mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (Si Api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah yang tidak bertuan ini, mereka akhirnya mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagan Siapi-api.
Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat,
daerah, atau alat penangkap ikan. Di dalam tongkang yang selamat itu terdapat
patung dewa laut Kie Ong Ya dan Tai Su Ong. Ritual ini diadakan pada tanggal 16
bulan kelima lunar setiap tahunnya atau dalam bahasa Hokkien disebut dengan Go
Cap Lak. Go berarti bulan kelima dan Cap Lak berarti tanggal enam belas sebagai persembahan untuk dewa laut.
Beberapa versi menyebutkan asal usul kata Bagansiapiapi.
Ada yang menyebutnya karena oleh asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk.
Versi lain mengatakan : cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Dulu masih mudah menemukan kunang-kunang di kota Bagansiapiapi, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di Bagansiapiapi.
Ada yang menyebutnya karena oleh asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk.
Versi lain mengatakan : cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Dulu masih mudah menemukan kunang-kunang di kota Bagansiapiapi, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di Bagansiapiapi.
Namun ada versi yang jarang dibicarakan orang yaitu : Bagan adalah istilah tempat/alat penangkapan ikan model kuno, dan kata "api" sendiri adalah nama sejenis pohon di rawa-rawa yang biasanya disebut : pohon api-api. Dimana saat itu perairan Bagansiapiapi terdapat banyak sekali tempat/alat penangkapan ikan dan rawa-rawa yang tumbuh oleh pohon api-api.
Perdagangan di selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi
sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda
membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut
adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.
Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi,
tapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Di masa perang dunia
I dan perang dunia II, Bagansiapiapi disebut sebagai salah satu daerah
penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk
kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.
Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi
di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia II
selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa pengusaha
menutup pabrik karet tersebut.
Dewa Kie Ong Ya dan Tai Su Ong juga dipercaya sebagai dewa yang melambangkan dua sisi kehidupan, sisi baik-sisi buruk, suka-duka, serta rezeki-bencana. Berdasarkan kebiasaan, masyarakat Tionghoa akan membuat replika tongkang berukuran 8x2 meter. Sebelum dibakar, tongkang tersebut diarak terlebih dahulu keliling Bagan Siapi-api. Warga Bagan Siapi-api menyambut perayaan ini dengan memasang lampion dan lukisan Dewa di rumah masing-masing.
Setelah diarak, replika tongkang dibawa ke Klenteng Ying Hok
King, sebuah tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah
kota. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa
Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng Ing Hok Kiong saat ini adalah patung
asli yang dibawa ke-18 perantau pada saat pertama kali menginjak kaki di
daratan Bagansiapiapi.
Mereka memanjatkan doa-doa kepada Dewa, agar kegiatan Bakar
Tongkang diberkahi, selalu diberi keselamatan dan dilancarkan segala urusan.
Para warga Tionghoa secara keseluruhan mengikuti prosesi saat tongkang tersebut
diarak ke tanah lapang sebelum dibakar. Iring-iringan juga diwarnai aksi para
Tan Ki, yang memiliki kekuatan dengan memukul-mukul tubuh menggunakan parang
dan batu yang diselimuti paku. Digelar juga panggung hiburan yang mendatangkan
penyanyi-penyanyi dari Taiwan, Malaysia dan Singapura yang membawakan lagu
berbahasa Hokkian.
Keesokan harinya, barulah kapal diarak warga dalam sebuah
pawai dan dibakar. Di sekeliling kapal, ditumpuk ribuan kertas kuning berisi
doa yang ditulis para warga. Puncak prosesi ritual Bakar Tongkang adalah
menyaksikan jatuhnya tiang layar replika kapal tongkang. Berdasarkan
kepercayaan warga Tionghoa Bagan Siapi-api, kedua tiang yang disakralkan itu
jika jatuh menghadap laut diartikan sebagai tongkat ikan. Warga Tionghoa percaya
peruntungan di tahun tersebut akan banyak berasal dari laut. Tetapi jika
jatuhnya ke darat maka peruntungan banyak berasal dari darat.
Secara spiritual, acara ini mengandung makna ucapan rasa syukur atas suksesnya para leluhur yang membawa keluarga mereka menetap di daerah perantauan. Tak heran jika orang Tionghoa yang menetap di luar negeri pasti langsung merasa terpanggil untuk pulang kampung demi merayakan tradisi tahunan ini. Sebab ada kepercayaan bila tidak ikut ambil bagian dalam acara ini, maka akan ada malapetaka yang terjadi.
Ritual tahunan ini telah menjadi agenda wisata bagi pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai bagian dari program Visit Indonesia karena mampu menyedot wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga China.
Secara spiritual, acara ini mengandung makna ucapan rasa syukur atas suksesnya para leluhur yang membawa keluarga mereka menetap di daerah perantauan. Tak heran jika orang Tionghoa yang menetap di luar negeri pasti langsung merasa terpanggil untuk pulang kampung demi merayakan tradisi tahunan ini. Sebab ada kepercayaan bila tidak ikut ambil bagian dalam acara ini, maka akan ada malapetaka yang terjadi.
Ritual tahunan ini telah menjadi agenda wisata bagi pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai bagian dari program Visit Indonesia karena mampu menyedot wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga China.
Untuk menuju ke kota Bagan Siapi-api dari ibu kota
Provinsi Riau, Pekanbaru dibutuhkan 6 - 7 jam perjalanan darat dengan jarak
tempuh kurang lebih 350 km. Sementara dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan,
dibutuhkan 10-12 jam perjalanan darat melalui Lintas Timur Sumatera. Sedangkan
bila Anda berangkat dari Kota Dumai, hanya dibutuhkan waktu tempuh 2 - 3 jam
melalui jalan darat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar